Selasa, 07 Mei 2013

PULANG BERTEMU ROBERTUS

1 jam lewat 43 menit saya menunggu bis berwarna merah terang bertuliskan “Agramas” di depan jalan raya Serpong. Kondisi fisik mulai melemah, kaki seakan minta istirahat. Kala itu saya sedang jongkok sambil menyeruput kopi yang baru saja dipesan.
Terdengar suara menggema yang semakin lama semakin mendekat “Bekasi, Jati Asih, Veteran ayo bu.”
Langsung saja saya tinggalkan kopi yang masih banyak itu dan berlari mendekati suara itu, suara itu berasal dari mulut kondektur bis Agramas. “HAP !!” saya meloncat ke pijakan kaki di bis tersebut, dan hanya terdiam disitu, kondisi bis sedang penuh karena saat itu jam pulang kerja.
Seketika pintu yang berada di belakang saya di tutup, kaki nyaris terjepit. Saya paksakan badan saya yang sudah mengeluarkan wangi kurang sedap akibat menunggu di bawah terik matahari. Jalan raya serpong telah di lalui bis ini, BSD, dan jalan Veteran juga terlewati bis ini bersama saya di dalamnya. Tidak juga saya mendapat tempat duduk untuk mengistirahatkan tubuh ini.
Selama perjalanan saya terus menerus memantau perkembangan jalan lewat jejaring sosial Twitter. Menurut laporan dari akun twitter detik.com jalan tol Cilandak mengalami longsor akibat curah hujan yang menerpa Jakarta beberapa waktu ini. Saya segera menyampaikan hal ini kepada kondektur yang ikut berdiri tepat di belakang saya.
Kondektur bergegas melaporkan ke pak Supir yang kelihatan sudah mulai kelelahan. Tidak lama kemudian kondektur itu menawarkan kepada para penumpang jika bersedia jika bis ini memutar haluan menuju Tanah Kusir guna menghindari longsor tersebut yang berpotensi macet panjang.
“aah mana longsor, gak ada mas jalan aja lewat JORR lancar” ujar seorang bapak-bapak mengenakan topi bertuliskan I LOVE SINGAPORE.
Penumpang lain tidak menggubris pernyataan bapak tersebut termasuk saya yang hanya terdiam, supir pun tetap berada pada jalur seperti biasanya. Tidak sampai 10 menit kendaraan beroda 6 ini berhenti. Di depan sudah berjejer mobil-mobil yang juga berhenti, raut muka sang supir sudah terlihat kesal seakan ingin teriak.

            Seorang wanita mengenakan kerudung warna hijau dan seragam batik dengan bawahan rok berwarna hitam sepanjang mata kaki berseru “Pan udah bilang tadi macet, gak percaya sih, kapan sampe rumah kalo begini ceritanya”.
“Yaudah bu mau diapain, maklum namanya juga Jakarta” ujar saya kepada orang itu.
            Kondisi bis yang padat membuat saya sulit bernafas bebas, kaki yang sejak tadi belum di istirahatkan seakan memaksa saya untuk istirahat, terlihat di belakang dekat tangga masuk ada celah kosong untuk duduk.
            Saya memaksakan diri untuk duduk disitu dan sukses, sambil memasang headset di telinga, saya memejamkan mata sejenak. Tidak lama setelah itu saya terbangun dan sontak melihat jam tangan, waktu menunjukan pukul 7 malam. Sudah 1 jam 30 menit saya berada di bis ini, tetapi baru setengah perjalanan saya lalui untuk sampai di Jati Asih, Bekasi.
            Bis pun menurunkan beberapa penumpang di jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Akhirnya saya sukses mendapatkan tempat duduk yang layak tepat dibawah AC yang sedang menyala kencang. Sekeliling saya banyak yang tidur, dari yang tua sampai anak-anak banyak yang tidur. Tertular karena melihat banyak yang pulas, saya ikut tertidur juga.
“Yooooooooo Jati Asih, Jati Asih, Jati Asih, Komsen, Jatih Asih yooooo”. Dengan kondisi lemas saya bergegas menuju pintu keluar. Si Kondektur menghentikan langkah saya dan berkata “Mas, ongkosnya mas”
“Wooo iya, maaf mas lupa” jawab saya sambil mengeluarkan selembar uang 10.000 rupiah.
“Gak apa-apa mas” ucap si kondektur sambil senyum seadanya.
Setelah turun dari bis itu saya mencari tukang Ojek, seharusnya saya menaiki angkutan umum terlebih dahulu agar lebih irit, namum karena malas menunggu saya memilih untuk naik ojek agar cepat sampai tujuan.
 Jalan Melati 2, nomor  65 rumah dengan cat kuning dan posisi lampu yang belum menyala saya turun dari ojek. Seekor anjing gendut menggonggong menyambut kedatangan saya dan menjilati tangan saya.
Pintu saya buka dengan kunci cadangan yang saya bawa, lalu menyalakan lampu luar dan segera bergegas ke lantai 2. Saya membuka pintu dengan stiker club Manchester United menempel diatasnya. Segera saya melompat ke ranjang kesayangan dan memeluk bantal guling yang saya beri nama Robertus.
Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang - 11140110064

Menuntut Kebenaran di Republik Kebohongan

       Wajahnya sudah penuh dengan keriput, termakan oleh waktu, rambutnya sudah mulai memutih hampir keseluruhan. Matanya pun tak lagi bersih bersinar, penyakit telah menggerogoti tubuhnya yang mungil. Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan (Wawan), putranya tewas tertembak pada tragedi Semanggi I. Sumarsih berasal dari Semarang kini usianya telah menginjak 60 tahun, usia yang sekarang membuat jasmaninya melemah membuatnya tidak dapat beraktivitas seperti tahun-tahun sebelumnya.
            Kebanyakan orang mungkin sudah menyerah jika usaha yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang setimpal,  tahun demi tahun ia lewati dengan terus berjuang bersama suaminya Arief Priadi dan para orangtua korban kekerasan untuk memperjuangkan keadilan atas kematian putranya. Sumarsih pernah bekerja di Sekretariat Jendral DPR RI pada masa Orde baru, ironis memang melihat DPR RI tempat ia mengais rezeki untuk membesarkan anak dan menghidupi keluarga tetapi nyawa anaknya hilang karna ulah pemerintah yang tidak becus di masa itu.
           Anaknya Wawan adalah mahasiswa Atma Jaya, dan juga seorang aktivis mahasiswa pada masa masa revolusi di tahun 1998. Wawan menghela nafas terakhirnya setelah tertembak oleh peluru tentara di bagian dada kanan. Kala itu Wawan dan segerombol kawanan aktivis sedang mengamankan kerusuhan di Semanggi, Wawan terkena lontaran peluru tajam setelah ia mencoba menyelamatkan temannya yang jatuh di tengah kerusuhan.
            Hingga sekarang, tidak ada penuntasan atas kasus penembakan yang menewaskan Wawan, hal itu menjadi dorongan bagi Sumarsih yang terus berjuang untuk menuntut kebenaran di negri yang penuh dengan kebohongan ini, dengan tubuhnya yang mungil dan suaranya yang kecil ia senantiasa mencari keadilan, usahanya bukan semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri namun untuk semua orang yang merasa haknya direbut, harapannya adalah agar hal yang telah ia perjuangkan dapat menulari para pemuda di Indonesia untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan dan kebenaran hingga tidak ada lagi pelanggaran HAM di negeri ini.                    

 
"Peristiwa penembakan Wawan terasa di luar kemampuan saya untuk menghadapinya. Kehidupan lahir dan batin saya sungguh terhempas pada jurang yang begitu kelam. Luluh lantak kehidupan saya dan seakan-akan tak kuasa untuk bangkit dan menata kembali ke kehidupan normal. Di hadapan Tuhan saya bangga terhadap apa yang telah dilakukan Wawan, saya tidak menyalahkan keputusan Wawan untuk bergabung dengan kaum yang peduli dan prihatian melihat carut marutnya negeri ini.” Ucap ibu Sumarsih ketika ditanya kembali tentang kematian anaknya.

      Masih banyak kegiatan yang diikuti oleh Sumarsih. Sudah banyak audiensi yang dia lakukan, antara lain ke Presiden, DPR, Komnas HAM, mendatangi Puspom TNI hingga turun ke jalanan untuk demonstrasi. Sudah banyak sekali orasi yang ia lakukan untuk menyuarakan tegaknya HAM. Berbagai diskusi dan kesaksian tentang pelanggaran, dia ikuti. Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sumarsih mendata kondisi korban pelanggaran HAM di Jakarta, Ibu Sumarsih turut mendampingi para keluarga korban yang lain untuk sama-sama memperjuangkan keadilan yang menjadi hak mereka serta memperkuat kepercayaan diri para keluarga korban.
            Pada awalnya memang tidak begitu banyak yang mengubris dirinya, setelah sekian lama banyak juga yang turut membantu beliau. Kini perjuangan Ibu Sumarsih telah mendapat banyak dukungan dari banyak pihak. Kenyataan itulah yang semakin terus menguatkan langkahnya untuk membela korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Kiprahnya dalam membela dan menuntut kebenaran telah membuatnya mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award Tahun 2004, sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

          Reformasi telah berjalan, pemimpin silih berganti mulai dari Habibie, Gusdur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Masih saja ada masalah lalu yang tidak tersentuh apalagi perkara HAM. Semuanya menggelap karena di gelapkan, pandangan dialihkan secara sengaja. Tetapi sampai kapanpun perjuangan mungkin masih tetap ada walaupun hasilnya belum bisa dipastikan. 
Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang - 11140110064
 

Selasa, 19 Maret 2013

Gejolak Hidup Anak Kost

Pernakah engkau merasakan, hidup di perantauan
Menuntut ilmu untuk mencapai tujuan
Hidup  jauh dari kedua orang tua
Hidup prihatin, demi masa depan
Nasib…anaaaaak kost….

            Terdengar dari kamar berukuran 2 x 4 meter yang penuh dengan asap rokok dan segunung baju yang belum dicuci sepotong lirik lagu P-Project, kemampuan bertahan hidup sepertinya menjadi sebuah keharusan bagi seorang anak kost dalam menjalani hidup.
            Jauh dari orangtua, tidak ada yang mengawasi, hidup bebas sudah menjadi teman sehari-hari bagi anak kost, sisi yang menarik adalah ketika seorang anak kost yang kelihatannya merasa nyaman menjalani kehidupannya sehari-sehari sebenarnya khawatir akan masa depannya.
            Yoga Kurnia pria dengan postur badan tegap, rambut cepak bak tentara perang dan tubuh yang berotot akibat fitness yang berlebihan. Tidak hanya masa-masa akhir bulan yang mencekam isi perut tetapi rupanya rasa kangen akan rumah sering menghampirinya.
            “Emang sih, dibanding dirumah..disini jauh lebih nikmat, tapi pasti ada kalanya kita kangen rumah” perkataan tersebut terlontar saat ditanyai seputar hidupnya selama menjadi seorang anak kost.
            Kerinduannya akan rumah timbul seketika ia ingin membeli sebuah makanan pada hari Jumat (15/3/13) kala itu hujan deras mengeroyok atap kost dia, kondisi perut tidak bersahabat ditambah dengan guyuran hujan pada sore hari mengingatkannya akan rumah.
            Dirumah pasti setidaknya ada makanan di kulkas atau dapur untuk kita mengganjal perut, tetapi berbeda saat di kost yang kita miliki tidak menentu tergantung dari antisipasi masing-masing orang dalam menghadapi kondisi itu.
            Masakan khas ala ibu kita sering mengingatkan kita akan rumah saat kita jauh dari rumah. Sambil menunggu hujan Yoga menhisap sebatang rokok yang setia menemani hari-harinya semasa kuliah. “dulu gua gak ngerokok, karna ngekost aja buntu jadi ya ikut-ikutan ngerokok.” Merokok juga menjadi alasan kenapa banyak sekali anak kost yang kekurangan uang untuk mengisi perut orang ini.
            Berbeda dengan Margaretha Akesha seorang gadis belia berusia 19 tahun yang kuliah di Tarakanita Bekasi guna mewujudkan cita-citanya menjadi seorang sekretaris yang professional. Gadis yang kerap disapa Margareta ini tinggal di sebuah asrama yang disediakan oleh pihak kampus.
            Semua jadwal mulai dari jadwal makan, waktunya tidur, belajar, beribadah diatur oleh pihak asrama, Margareta mengaku hal ini telah merubahnya menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri karena sebelumnya ia adalah anak yang manja yang tidak dapat hidup jauh dari rangkulan hangat kedua orangtua.
            Sebagai seorang wanita, perasaan rindu akan keadaan rumah selalu menyelimuti hari-harinya di asrama, perasaan jenuh sering mengirinya. Sewaktu ketika saat berada di asrama Margareta diserang penyakit pra-tifus, hidup sendiri jauh dari kedua orang tua memang jadi beban yang berat.
            Hanya pengurus asrama dan teman-teman yang dapat diandalkan dan itupun tidak setiap saat mereka bisa mengurusnya ketika sakit. Perasaan rindu anak belaian ibu ketika sakit menyelimutinya kala itu. “pengen banget dibikinin sup ikan batam khas mama, pasti bikin cepet sembuh” keinginan yang hanya bisa dipendam dalam pikirannya itu membuatnya tambah jatuh dan akhirnya memutuskannya untuk meminta agar dijemput dan beristirahat dirumah sampai sembuh.
            Lika-liku dalam menjalani hidup sebagai anak kost memang beragam, tergantung dari bagaiman tipe orang tersebut. Biasanya seseorang akan merasa lebih nyaman apabila ada orang yang setia menemaninya setiap saat yaitu seorang kekasih.
            “Gak punya pacar, gak ada yang nemenin, gak ada yang di kangenin” ucapan dari Linda Puspita Sari. Wanita yang bisa dibilang wanita bisa juga dibilang pria alias tomboy ini berbeda dengan Margareta, kesiapannya untuk menjadi seorang anak kost di bilangan Jakarta Pusat, Salemba.
            Sifatnya yang memang sedikit keras, tidak membuatnya khawatir dengan kondisinya sekarang yang hidup sendiri jauh dari orangtua dan tidak memiliki seseorang yang setia menemaninya (pacar). Menurutnya, menjadi anak kost bukanlah hal yang buruk melainkan hal yang sangat baik, karena itu menjadikan seseorang menemukan jati dirinya.
            Hidup mandiri, tidak cengeng telah menjadi satu dengannya, kost adalah sebuah tempat sementara untuk ditinggali, memang tidak mungkin sebaik tinggal dirumah tetapi itulah yang membuat kita nantinya membentuk sebuah rumah impian sendiri dengan cara berkuliah dengan benar.
            “Kangen rumah? Enggak juga, udah biasa sih dari kecil hidup sendiri” ucap Linda saat ditanyai kerinduannya akan rumah saat menjadi anak kost. Latar belakang kehidupan seseorang dapat membentuk kepribadian seseorang, tetapi terlihat dari raut mukanya yang mesem Linda seolah menutupi bahwa ia sesungguhnya merindukan pelukan hangat seorang ibu, hawa rumah yang menyejukan, sederhana namum terpuaskan.
             “Beginilah jadi anak kost, pasti ngerti lah kan lu juga anak kost kayak lagunya P-Project” ucap Yoga Kurnia sembari mengunyah cemilan yang ada pada genggamanya.

uh….hidup sangat sedih uh uh uh
Nasib anak kost
Nasib anak kost…..



Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang
Ilmu Komunikasi - UMN
11140110064

Selasa, 26 Februari 2013

Boniface Mwangi : Revolusi lewat seni

Kenya sebuah negara yang sesungguhnya sangat indah, dirusak oleh tangan-tangan pemerintahnya sendiri. Uang, kekuasaan, dan rasa yang tak pernah puas membuat pemerintah Kenya BUTA akan arti sesungguhnya dari demokrasi.

Hampir seluruh masyarakat Kenyang hidup di garis kemiskinan. Rakus ! kata yang pas dikatakan untuk para pemimpin di Kenya, karna diperkirakan 1 miliar dollar hilang di korupsi sejak tahun 2002 sampai 2005 di Kenya.

Pertumpahan darah di negeri Kenya saat pemilihan Presiden pada tahun 2007 mengakibatkan lebih dari 1.100 orang meninggal dan 600.000 orang dipindah secara paksa oleh aparat membuat aktivis muda berusia 29 tahun berpostur tinggi dan berwarna kulit hitam bernama Boniface Mwangi ini tergerak hatinya untuk merubah semua itu agar tidak ada lagi darah masyarakat Kenya menetes.  Ia melakukan kritik terhadap pemerintah, berbeda dengan kebanyakan orang Boniface Mwangi melakukan kritik tidak dengan kekerasan, demonstrasi, pengrusakan atau cara cara yang bersifat barbar. 

Melalui seni, ia dan rekan-rekan aktifis yang tergabung dalam Picha Mtaani (Street Exhibition) gempur melakukan kritik terhadap pemerintah dengan cara mereka sendiri.
…. They feed our taxes, they rape our mothers, they grab our land so we using art to tell them, and we are fighting back to reclaim our country..” siratan kata yang terucap dari mulut seorang aktifis mewakili setiap aksi protes yang mereka lakukan.  Pada film dokumenter yang di publikasikan oleh saluran TV Al Jazeera, aksi protes yang pertama yang diluncurkan oleh Picha Mtaani yakni membuat mural dan graffiti di dinding kota Nairobi. Tulisan dan gambar mewakili perasaan mereka tentang para pimpinan parlemen yang duduk santai di kantor mereka yang mewah sementara rakyat menderita, kelaparan, kemiskinan, hak-hak mereka di rebut. Kekesalan itu yang meluap dan menghasilkan satu karya seni dalam bentuk gambar dan tulisan yang memiliki banyak arti. Aksi ini sengaja mereka lakukan agar masyarakat Kenya turut tergerak hatinya dan bersama-sama melawan pemerintahan yang bobrok, pemerintahan yang penuh dengan korupsi menjadi pemerintahan yang lebih baik.

Karya seni yang penuh dengan arti ini menarik perhatian masyarakat, tujuan utama diadakannya aksi-aksi seperti ini memang untuk menarik perhatian masyarakat. Dinding di Nairobi mewakili pikiran-pikiran rakyat Kenya, Boniface sengaja membuat aksi seperti mural ini adalah mengajak para pemuda-pemuda Kenya untuk tergerak karena seni urban ini sangat banyak diminati oleh anak muda. Selain untuk menari perhatian masyarakat Kenya sendiri, hal ini ia lakukan di depan media, tentunya agar seluruh dunia tahu persis apa yang sedang terjadi di Kenya dan mengapa ada gerakan gerakan bawah tanah seperti ini di Kenya.

Masyarakat Kenya sesungguhnya tau betul apa yang terjadi di negeri mereka, terus menurus mereka mengeluhkan tentang korupsi, perebutan tanah, hak mereka diambil secara paksa, anak-anak mereka kelaparan, tidak ada fasilitas yang memadai di kota mereka, kota yang sangat mereka cintai dikuasai oleh pihak yang memiliki kekuatan, kekuasaan, uang sedangkan mereka hidup dalam kesusahan dan ketakutan. Tetapi selama ini mereka hanya terdiam melihat semua kebusukan itu, Picha Mtaani yang di dirikan oleh Boniface Mwangi ingin sekali masyarakat Kenya membuka mata mereka, mendengarkan isi hati mereka dan melawan tindakan-tindakan ketidakadilan.

Tidak cukup dengan hanya melukis di dinding Nairobi, Boniface Mwangi menggunakan foto-foto tindak kekerasan selama pemilihan presiden di Kenya dan mempertontonkannya di hadapan publik 
Kenya dengan turun ke jalan-jalan.  Boniface sendiri yang memotret foto-foto ini, ia merupakan seorang mantan fotografer jurnalis di surat kabar The Standart. Aksi ini telah ia lakukan di lebih dari 20 kota di Kenya sejak tahun 2009.

Seketika mempertontonkan hasil fotonya di Naivasha yang berjarak 85 kilometer dari ibukota Nairobi. Boniface mendapat teguran dari salah seorang utusan dari parlemen karna ia memperlihatkan foto-foto yang memiiki isi konten terlalu sensitif, menurutnya foto itu dapat mengganggu stabilitas nasional. Boniface memperlihatkan foto presiden dan perdana mentri yang sedang menangis seolah turut bersedih akan masyarakat Kenya. Karena insiden ini Boniface dipaksa untuk mencopot dan menyudahi pameran foto-fotonya di Naivasha.

Memang, setiap aktifis pasti memiliki pergelutannya masing-masing. Boniface sangat sadar kalau ia selalu diawasi oleh pemerintah dan bisa kapanpun polisi atau pihak berwenang menangkapnya, tidak jarang rekan-rekannya merasa ketakutan dikala sedang meluncurkan aksi protes itu.

Aksi yang paling berperan dalam memperjuangkan keadilan bagi rakyat Kenya yang dilakukan oleh Picha Mtaani  adalah dengan membuat peti mati yang akan dibawa ke gedung parlemen, peti mati yang berjumlah 49 ini mewakili masalah-masalah yang terjadi di Kenya khususnya pada level pemerintahan Kenya itu sendiri.

Saat orang pertama kali berfikir tentang peti mati dan dijadikan sarana kritik pemerintah, kebanyakan akan berfikir kalau sebaiknya orang-orang dalam gedung parlemen/pemerintahan dibunuh dan dimasukan kedalam peti. Tujuan para aktifis yang sesungguhnya adalah untuk mengubur kesalahan-kesalahan yang telah terjadi, memperbaikinya dan membuat Kenya negara yang lebih damai.
Kenapa semua ini terjadi di Kenya? Menurut Boniface kekesalan, ketakukan, kepanikan, dan kesedihan yang dialami banyaknya penduduk Kenya adalah karna pemilihan suara tahun 2007 yang memenangkan Mwai Kibaki, seorang pemimpin negeri telah memanipulasi pemungutan suara untuk memenangkan dirinya kembali pada pilpres 2007 di Kenya karena itu aksi yang dilakukan oleh Boniface Mwangi dan Picha Mtaani dinamai “Ballot Revolution” yang berarti revolusi pemungutan suara.